PEMERINTAH MENODAI MISI DAMAI DI PAPUA
Oleh Ernest Pugiye
Betapa sakitnya kita tinggal di negeri ini walaupun Papua adalah Tanah surga dunia. Banyak orang termasuk pemerintah telah semakin tidak menghati makna kedaulatan martabat Papua. Pemerintah tetap menodai misi damai yang diperjuangkan oleh rakyat Papua selama bertahun-tahun. Salah satu sisi, orang Papua mengakui negerinya sebagai surga kecil yang jatu dari langit. Danau, laut yang luas dan membisu, kali dan sungai deras yang mengalirkan emas, bukit-gunung yang menjulang tinggi dan mempesona, budayanya unik, suara burung cenderawasih yang nyaring merdu, komunitas manusia yang bercinta damai merupakan wujud konkret dari kerajaan surga yang mendarat di bumi Papua. Namun di sisi lain, Papua serentak menjadi tanah gelap gulita, alam dan manusia yang semakin berlumuran darah. Sehingga setiap orang mengetahui bahwa konflik vertical antara pemerintah RI masih tetap saja menodai keluhuran martabat manusia dan alam Papua.
Ada empat struktur dosa/ masalah Papua yakni pertama, pembungkaman ruang demokrasi yang berujung pada penangkapan, senjata, dan kekerasan manusia. Kedua kegagalan pembangunan Papua secara total. Ketiga, ideology Papua merdeka. Keempat, pembunuhan dan pembantaian eksistensi Papua dalam segala aspek kehidupan. Dari ketiga struktur masalah Papua ini, masalah mendasarnya adalah pembantaian dan penolakkan eksistensi Papua dalam segala aspek seperti kegagalan pendidikan, kesehatan dan kegagalan proteksi budaya dan alam Papua.
Sejarah hitam
Untuk memahami sejarah hitam di Papua secara umum, saya hanya mau menceritakan aksi pembungkam dan pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah melalui TNI/Polri dan para Dosen di Uncen Abepura terhadap orang asli Papua dari organisasi Gempar (Gerakan aktivis Mahasiswa, pemuda dan rakyat Papua Barat). Pada 15/08/2014, organisasi Gerakan Mahasiswa Pelajar Aktivis Masyarakat Papua (Gempar) kembali melakukan aksi damai di depan Uncen Abepura Papua. Dalam aksi tersebut, Gempar meminta agar pemerintah termasuk TNI/Polri tidak boleh lagi membungkam ruang demokrasi bagi rakyat di Papua.
Dikatakan bahwa pemerintah harus menghayati nilai-nilai fundamental dari pendidikan demokrasi yang sehat karena orang Pupua ini bukan musuh Negara, malainkan warga Negara Indonesia yang menganut system demokrasi sehingga harus ada ruang demokrasi secara komprehensif dan menyeluruh bagi Papua. Hal ini merupakan tema sentral bagi Gempar dalam rangka mendukung sidang paripurna di Panwatu yang dihadiri oleh 16 negara yang tegabung dalam MSG untuk membahas berbagai kompleksitas masalah Papua, teristimewa pemusnahan etnis Melenesia (Qenosida of slowing, Qenoside 0f Free Movement, yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat Papua tanpa alasan yang masuk akal selama lima dekade.
Dalam orasinya, sejumlah anggota organisasi Gempar mengungkapkan bahwa dukungan kami ini merupakan misi yang paling luhur, agung dan mulia dari Tuhan demi terciptanya perdamaian universal di Papua. Melalui aksi damai itu, mereka telah menunjukkan rasa kepemilikan atas Papua. Intinya, “Papua baik secara eksistensial maupun substansial adalah milik bersama dari, oleh dan untuk Papua demi Papua damai. Tanpa rasa kemilikan, kami tidak munking beraksi damai secara semulia seperti ini”. Demikian kata mereka dalam kesempatan akasi damai tersebut.
Tapi anehnya, misi ini dinodai oleh Brimob/Polri dan para dosen Uncen. Saat itu, setiap anggota Gempar mengetahui bahwa para dosen menjadi actor utama, yang siap bekerja sama dengan TNI/Polri untuk mengotori dan menodai otonomi kampus dan misi damai di Papua. Hal itu telah terbukti ketika peristiwa pembungkaman itu menimpa atas Gempar persis di areal Kampus. Pada pukul 010.00, pihak keamanan yang dipimpin langsung oleh Wakapolres sekota Jayapura AKBP.Alfret Papare S.Ik, Kiki Kurnia jabatan wakil Kapolres dan Paulus Waterpau, Wakil Kapolda Papua serta berkerja sama dengan sejumlah para Dosen telah menangkap secara tidak manusiawi terhadap empat Mahasiswa yakni Benny Hisage, Philipus Robaha, Yason Ngelia, Yan Tebay, Yulianus Gobay, dan Klaos Pepuho di halaman kampus Uncen bawah.
Kemudian, tepat di bawah gapura Kampus Uncen, aparat kembali menangkap dua perempuan atas nama Reggi Wenda dan Ribka Komba, yang diketahui sebagai anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Keenam aktivis tersebut dibawa langsung ke Polresta Jayapura untuk diminta keterangan lebih lanjut dari penyidik. Rupanya, peristiwa ini diwarnai dengan tidak kekerasan dan tentunya akan mengabat konflik Papua jadi semakin bertambah parah lagi.
Secara paksa, mereka langsung membubarkan massa aksi damai ini. Massa pun tidak ada daya untuk melawan tindak kekerasan, massif, sarat, prefentif dan refrensif dari pihak keamanan Negara. Ada indikasi yang kuat bahwa para dosen adalah mitra kerja dan berusaha mengelola kaumpus sebagai tempat hidup ekonomi pasar dan financial bagi mereka. Alasan mendasar yang mendorong para dosen dan aparat keamanan (TNI/ Polri) ini adalah “karena misi damai itu amat bertentangan dengan misi keamanan nasional, menjaga keutuhan NKRI RI di Papua dan matinya bagi rakyatnya sendiri”. Kata mereka sambil melancarkan penanggapannya di saat itu.
Sejak awalnya, massa berjalan dari areal kampus masing-masing sampai kumpul di Uncen bawah Abepura. Di sinilah, Gempar berorasi tentang pentingnya ruang demokrasi bagi rakyat di Papua. Sesuai dengan roh demokrasi Negara RI, Papua harus dibangun atas nilai-nilai demokrasi seperti transparasi dan keterbukaan menyampaikan pendapat atas realitas masalah yang semakin kompleks di Papua, kesatuan, solidaritas dan subsidiaritas serta relasi serasi dan resiprositas serta kesuburan hidup. Nilai-nilai ini harusnya perlu dihayati ketika berhadapan dengan Papua baik secara eksistensial maupun substansial. Inilah yang menjadi inspirasi bagi Gempar dalam memperjuangkan misi damai di Papua.
Walaupun demikian, tanpa terduga polisi tiba-tiba datang dan lengkap dengan artribut keamanan menghadapi organisasi Gempar. Tanpa kompromi dan hormat, polisi pun mengeluakan peluru sebanyak 3 kali. Setelah itu, orang pertama yang ditangkap di saat itu adalah Benny Hisage, Ketua HMJ cabang sekota Jayapura. Polisi dan Brimob langsung menangkap dan membawanya dengan menggunakan truk polisi di penjara Polresta Jayapura kota. Penyiksaan, intimidasi dan pemukulan dengan menggunakan atribut Negara lagi dilakukan secara tidak hormat oleh aparat keamanan Negara pula. “Ini masa kelam sejarah dan dunia Papua, yang tidak menghargai Otonomi Kampus dan nilai-nilai demokrasi bagi rakyat di Papua”, Kata sejumlah anggota Organisasi Gempar saat polisi membubarkan massa demo damai tersebut. Inilah masa kelamnya Papua secara umum.
Dialog-Jakarta, Jalan Menuju Papua Damai
Dalam menuntaskan berbagai kompleksitas konflik Papua, pemerintah tidak boleh menggunakan jalan kekerasan militer seperti yang diceriterakan di atas. Juga pemerintah jangan memenjarakan, menstigmatisasi dan memusuhi rakyat Papua. Bahkan pemerintah tidak boleh membunuh rakyat Papua dengan pisau, senjata, tuduhan makar dan mengeksploitasi rakyat Papua serta dengan kegagalan menjalankan berbagai kebijajakan pembangunan bagi rakyat di Papua. Karena kesemua jalan yang bernuansa kekerasan ini tidak pernah menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan hanya menambah persoalan baru dan serentak merengkut nyawa baru. Bahkan negeri ini akan berpotensi menjadi tempat kutukan dunia. Itu sudah hukum alam. Ini sebuah kepastian.
Namun, jalan pedamaian yang harus kita hayati adalah dialog Jakarta Papua. Karena sudah menjadi pengetahuan bersama berdasarkan pengalaman sejarah bahwa misi dialog ini merupakan komitmen rakyat Papua untuk harus menyelesaikan berbagai konflik Papua secara komprehensif dan menyeluruh. Dialog Jakarta-Papua sebagai jalan menuju Papua damai. Dami ini adalah proyek bersama, maka secara otomatis, dialog pun merupakan proyek bersama. Berbagai konflik Papua ini bisa dituntaskan secara komprehensi ketika kita menyatakan kemauan untuk segera melakukan dialog. Dan ketika ada dialog, maka di situ ada solusi yang saling memuaskan antara kedua bela pihak yang telah berkonflik yakni rakyat Papua dan pemerintah RI. Sehingga ketika ada pelaksanaan dialog, kita pasti akan menemukan kedamaian universal di Papua.
Secara kodrati, hidup dalam kedamaian menjadi harapan dan kerinduan, kebutuhan dan cita-cita bersama. Baik bagi pihak penindas, pembunuh maupun pihak ditindas dan dibunuh, damai selalu merupakan awal, tengah dan akhir dari kehidupan kita semua. Maka dalam upaya penyelesaian berbagai konflik Papua secara komprehensif, kita harusnya mengutamakan jalan damai ini yakni penyelesaikan masalah Papua melalui dialog Jakarta-Papua, yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan berdasarkan nilai keadilan, kedamaian dan demokratis pada tempat yang netral pula. Tanpa menghapus makna dialog, menurut saya, pemerintah termasuk pihak akademisi dan aparat keamanan harusnya siap selalu menghargai ruang kebebasan demokrasi bagi organisasi Gempar, KMPB, dan para wartawan dan tidak lagi melihat mereka ini sebagai musuh Negara. Anda harus mau menghargai martabat Papua sebagai apa adanya. Kita ini kan satu untuk semua dan semua untuk satu. Sesuai dengan semangat Bhineka Tungga Ika dan Ideologi Pacasila. Kesatuan inilah tetap dijaga secara tegas dan penuh hati-hati dengan segenap hati, pikiran dan persaan oleh setiap kita dalam membangun Papua, Tanah damai.
Sejumlah konflik Papua seperti penangkapan dan penahanan terhap dua wartawan asal Prancis Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, Areky Wanimbo, dan enam orang warga sipil oleh Apara Polisi Polres di Jayawijaya pada Rabu, 06 Agustus 2014, yang mengotori dan menodai eksistensi kesatuan fundamental harus mau segera diselesaikan secara damai. Aparat dan pemerintah jangan menggunakan pendekatan kekerasan ketika rakyat Papua semakin berjuang memberdayakan hak-hak mereka untuk harus dihargai oleh siapapun. Dalam konteks ini, misi kedamaian yang diperjuangkan oleh Gempar, KMPB dan pihak Gereja merupakan misi bersama bagi setiap kita. Pemerintah tidak boleh lagi menggunakan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan konflik Papua. Anda mau dapat apa si hanya jika semua aksi damai yang dilakukan oleh Gempar dan Gereja ini sudah dan sedang diwarnai dengan tindakan kekerasan, prefentif, refresif dan senjata serta penjarah?. Itu jelas-jelas tidak sesuai dengan jalan dialog Jakarta-Papua demi Papua damai. Sehingga sejumlah orang yang telah ditangkap di atas, pemerintah yang terkait harus sesegera mungkin membebaskan mereka. Karena mereka ini tidak bersalah dan ingin hidup sebagai orang Papua yang merdeka adanya.
Akhirnya, saya pikir bahwa demi Papua damai, organisasi Gempar tetap akan bangkit, mandiri dan menjadi penentu perdamaian Papua. Gempar ini pemimpin sejati, Sang kelompok reformator abadi. Gempar punya potensi, roh dan jiwa serta Pengada untuk memimpin mereka dan membebaskan rakyatnya dari berbagai konflik Papua secara sejati. Bahkan Gempar ini “Sang Pembebas” bagi Papua. Tapi semua ini hanya akan digenapi, diputuskan dan disempurnakan oleh Dialog JAKARTA-PAPUA karena hanya dialog sajalah yang menjadi jalan kebenaran, jalan harapan dan jalan kehidupan bagi kita menuju Papua damai. Damai menjadi kenyataan bersama setelah semua pihak harus segera mau berpartisispasi secara aktif dalam misi dialog Jakarta-Papua sekalipun kita harus menanggung berbagai konsekuwensinya.
Penulis adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua
↧