Quantcast
Channel: The Mapping of Papua Incidents
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1852

Mengikuti Pendidikan demi Bangsa dan Gereja

$
0
0
Mengikuti Pendidikan demi Bangsa dan Gereja Oleh Melianus Boma Sekalipun saya anak kampung yang bernama Diyeugi Distrik Tota Mapia Kabupaten Dogiyai, akan tetapi saya bisa mengikuti pendidikan di Negara Republik Indonesia ini. Ayah saya bernama Pius Boma. Ibuku yang bernama Sabina Magai. Kedua orang tuaku ini biasa bekerja sebagai petani kebun. Mereka biasa tinggal di Kampung Diyeugi bersama sesame, daun, kali dan angin. Secara fisik, mereka rambut kriting, kulit hitam dan ras Melanesia serta bangsa Papua yang seciri khasnya dengan sesama sebangsa Papua secara umum. Namun secara mental dan moral, mereka dua memang amat bertanggung jawab, adil, hidup sederhana, tulus ikhlas, punya rasa kemanusiaan dan punya sikap bijaksana. Dalam konteks ini, aku biasa menyebut, memahami dan melihatnya sebagai orang tua yang baik dan sayang pada aku. Ada sejarah dan dunia yang semakin mendalam dan panjang bahwa aku bangga dengan kedua orang tuaku. Kekuasaan kasih sayang dan kebaikan dari kedua orang tuaku ini telah dinyatakannya kepada aku dalam seluruh seluk beluk kehidupanku. Ada hal yang paling menarik bagi aku yakni aku pernah dilahirkan oleh kedua orang tua di Kampung Diyeugi 19/06/1997. Saat itu, aku dilahirkan di dalam rumah adat yang beratap daun pandang, berpapan cincang pohon dan bealaskan bantang jubi, yang disusun dan dianyam secara rapi. Dalam rumah inilah, aku dibungkusnya dengan koba-koba dan dedaunan di dalam noken. Aku dibawa-bawa, digendong, diasuh dan dibersarkan oleh kedua orang tua dengan segenap hati, pikiran dan dengan segenap jiwa dan raga. Aku adalah anak kedua dari enam bersaudara. Ini aku tahu setelah aku diikutkan dengan teman-teman sekampungku untuk mengikuti pendidikan Sekolah Dasar. Asal sekakolah itu SD Inpres Diyeugi Kecamatan Mapia Kabupaten Dogiyai. Pada tahun 2003, aku masuk Sekolah Dasar bersama teman-temanku. Pada awal masuk, aku dan teman-teman saling mulai memperkenalkan menyangkut nama, kebiasaan dan belajar menggambar, menghitung dan menghafal buta huruf. Pada hari-hari selanjutnya kami biasa belajar membaca, menulis dan menghitung. Juga kami belajar mencacatat, memahami semua berbagai mata pelajaran sesuai kelas sekolah. Pada tahun 2009, aku bisa menyelesaikan studi bersama teman-temanku. Betapa bahagianya aku baik awal masuk sekolah, pertengahan maupun pada akhir penyelesaian sekolah dasar tersebut. Selama aku mengikuti pendidikan sekolah di SD itu, guru menempatkan diri tidak hanya sebagai guru, wali kelas tetapi juga Pembina, pendidik dan orang tua kedua di sekolah. Berbagai kegiatan yang menyangkut pendidikan dasar itu lebih berperan aktif dari para guru SD. Mereka biasanya menjar setiap hari, membina dan mendidik kami dengan tekun, setia dan penuh cinta. Pokoknya para guru SD aku itu paling amat baik dan cinta dengan para peserta didik sekalipun banyak tantangan dan penderitaan. Apalagi saat itu, kami punya kecenderungan bermain itu paling tinggi setinggi-tingginya dengan gunung siklop. Waktu bermain bagi kami sungguh nampak banyak, tetapi para guru itu biasa mengatur kami dengan baik pada saat aktivitas studi berlangsung di sekolah. Jadi, kharakter dasarnya dari para guru itu memang sekodrat dengan kodrat orang tuaku. Kekuasaan cinta dan kebaikan mereka itu juga saya alami dengan mengikuti pendidikan di SMP YPPK St.Fransiskus Asisi Moenami Kabupaten Dogiyai. Saat itu, orang tua pernah mengantarku ke sekolah. Jarak antara Moanemani dan di Kampung kelahiran aku itu memakan satu hari penuh. Permukaan jalannya nampak jelek, penuh dengan pecek, mendaki gunung Piyakebo, Hadubega dan Degeidimi serta Budaya Kotu. Sehingga saat itu, badan agak sedikit terasa cape. Sekarang, sudah ada jalan strans sehingga bisa tiba di Moanemani dalam 5 jam saja. Bila dibandingkan dengan perjalan dulu, sekarang sudah semakin dekat perjalanannya. Ketika aku mendaftarkan diri sebagai calon siswa baru di SMP YPPK Moanemani, aku berjumpa dengan teman-teman sesuku Mee. Kemudian, aku diurus oleh kedua orang tuaku untuk harus tinggal di Asrama Putra Moanemani. Di sanalah aku mengikuti pendidikan dengan berpola asrama. Biasanya, saya bisa belajar hidup budaya dengan teman-teman sesuku Mee, bersosialisasi dan ber-akulturasi dengan teman-teman pendatang atau para guru-guru pendatang dari luar, yang berbeda agama, budaya dan bahasa. Tapi tidak ada bedanya bagi saya, sekalipun memang ada kelemahan dan kelebihan dalam setiap budaya tersebut. Aku dan kami biasa saling menghargai selama hidup di sana. Secara mendalam, nilai-nilai moral, iman dan budaya serta nilai-nilai pendidikan seperti cinta kasih, keadilan kejujuran dan kedamaian dan kebebasan serta kesabaran, rendah hati, kerapian, persaudaraan dan kebersamaan, kedisplinan dan solidaritas dan kesetiaan terus menerus dibentuk, dijiwai dan ditanamkan ke dalam diri setiap kami oleh Bruden Yan OFM. Di sekolah juga demikian halnya. Bahwa para guru SMP tidak hanya mengajarkan tentang bebagai mata pelajaran seperti Matematikan, IPA dan IPS serta PPKN tetapi juga mendidikan, dan membina kami dengan nilai-nilai gama, moral dan Injili. Hal-hal ini terus berlanjut hingga aku selesai SMP pada tahun 2012. Setelah itu, badan aku sudah mulai berusia colon remaja. Masa kenakalan kini mulai semakin medekat. Aku semakin dituntut untuk hidup menurut nasehat Injil, Budaya dan Moral yang ada. Dengan berpedoman pada nilai-nila dasar ini, aku pun sudah dapat memutuskan diri untuk melanjutkan pendidikan di Kota Jayapura. Orang tua aku pun tetap ikut merestuinya. Uang untuk biaya pendidikan, tas dan pakaian sudah disiapkan dari jauh sebelumnya sehingga sudah semakin memudahkan aku untuk melanjutkan studiku ini. Hanya ada satu hal yang terus terpatri dalam kesadaranku, “memang mereka itu amat lebih baik sekali bagiku”. Akhirnya aku pun segera bergegas meninggalkan orang tua tercinta dan berhasil turun ke Nabire menuju ke Jayapura. Dengan kaget-kaget aku naik Ekstrada dari Terminal Moanemani Ke Nabire. Hanya satu malam saja dalam perjalan menuju ke Nabire. Dua hari tinggal di Nabire. Kemudian, pada hari yang ketiga, aku berangkat ke Jayapura yang tercinta ini melalui pesat boing. Dalam pesawat aku pernah muntah-muntah, kapala pun semakin pening campur kagung ketika melihat panorama, keindahan dan pesona alam Papua dari pesawat di udara. Setelah tiba di bandara Sentani, aku tidak dijemput oleh siap-siapa. Dari sini aku mengikuti jalan sentani Jayapura dengan menggunakan strawagon. Aku pernah membayar Rp 6000. Lalu, sampai di Topas tepat di lampu merah, aku menghadap menuju ke SMA YPPK Teruna Bahkti hanya untuk belajar. Untuk belajar apa saja, itu sudah pendidikan bagiku dalam terang Sang Pengada. Entah belajar di Kampung, di hutan atau pun belajar di kota ini, aku siap selalu untuk mengikuti pendidikan dengan rela, berani dan segera menerima segala kosekuwensinya. Kini aku sudah baru berada kelas dua SMA YPPK Teruna Bakhti. Setiap hari, aku belajar secara wajar sesuai program sekolah bersama teman-teman. Juga aku bisa berteman dengan siapa saja sehingga banyak hal yang tidak tahu sebelumnya, kini telah menjadi tahu secara baik. Aku sadar bahwa sekalipun orang tua masih jauh di balik gunung, kasih dan kebaikannya yang begitu besar itu, kini aku masih tetap mengalaminya secara terus menerus melalui para guru, masyarakat dan Gereja yang berada di tempat ini. Oleh karena itu, aku, teman dan para guru dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk menatap ke belakang, berbakti pada masa kini dan dunia di sini, dan menatap masa depan yang cemerlang demi menjadi pribadi yang berguna bagi Papua, bangsa dan Gereja Universal. Itu sudah arti dan makna pendidikan bagi kita semua. Penulis adalah Melianus Boma pada SMA YPPK Teruna Bakhti Waena-Jayapura

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1852

Trending Articles