Mengikuti Pendidikan demi Bangsa dan Gereja
Oleh Melianus Boma
Sekalipun saya anak kampung yang bernama Diyeugi Distrik Tota Mapia
Kabupaten Dogiyai, akan tetapi saya bisa mengikuti pendidikan di
Negara Republik Indonesia ini. Ayah saya bernama Pius Boma. Ibuku yang
bernama Sabina Magai. Kedua orang tuaku ini biasa bekerja sebagai
petani kebun. Mereka biasa tinggal di Kampung Diyeugi bersama sesame,
daun, kali dan angin. Secara fisik, mereka rambut kriting, kulit hitam
dan ras Melanesia serta bangsa Papua yang seciri khasnya dengan sesama
sebangsa Papua secara umum. Namun secara mental dan moral, mereka dua
memang amat bertanggung jawab, adil, hidup sederhana, tulus ikhlas,
punya rasa kemanusiaan dan punya sikap bijaksana. Dalam konteks ini,
aku biasa menyebut, memahami dan melihatnya sebagai orang tua yang
baik dan sayang pada aku. Ada sejarah dan dunia yang semakin mendalam
dan panjang bahwa aku bangga dengan kedua orang tuaku.
Kekuasaan kasih sayang dan kebaikan dari kedua orang tuaku ini telah
dinyatakannya kepada aku dalam seluruh seluk beluk kehidupanku. Ada
hal yang paling menarik bagi aku yakni aku pernah dilahirkan oleh
kedua orang tua di Kampung Diyeugi 19/06/1997. Saat itu, aku
dilahirkan di dalam rumah adat yang beratap daun pandang, berpapan
cincang pohon dan bealaskan bantang jubi, yang disusun dan dianyam
secara rapi. Dalam rumah inilah, aku dibungkusnya dengan koba-koba dan
dedaunan di dalam noken. Aku dibawa-bawa, digendong, diasuh dan
dibersarkan oleh kedua orang tua dengan segenap hati, pikiran dan
dengan segenap jiwa dan raga.
Aku adalah anak kedua dari enam bersaudara. Ini aku tahu setelah aku
diikutkan dengan teman-teman sekampungku untuk mengikuti pendidikan
Sekolah Dasar. Asal sekakolah itu SD Inpres Diyeugi Kecamatan Mapia
Kabupaten Dogiyai. Pada tahun 2003, aku masuk Sekolah Dasar bersama
teman-temanku. Pada awal masuk, aku dan teman-teman saling mulai
memperkenalkan menyangkut nama, kebiasaan dan belajar menggambar,
menghitung dan menghafal buta huruf. Pada hari-hari selanjutnya kami
biasa belajar membaca, menulis dan menghitung. Juga kami belajar
mencacatat, memahami semua berbagai mata pelajaran sesuai kelas
sekolah. Pada tahun 2009, aku bisa menyelesaikan studi bersama
teman-temanku. Betapa bahagianya aku baik awal masuk sekolah,
pertengahan maupun pada akhir penyelesaian sekolah dasar tersebut.
Selama aku mengikuti pendidikan sekolah di SD itu, guru menempatkan
diri tidak hanya sebagai guru, wali kelas tetapi juga Pembina,
pendidik dan orang tua kedua di sekolah. Berbagai kegiatan yang
menyangkut pendidikan dasar itu lebih berperan aktif dari para guru
SD. Mereka biasanya menjar setiap hari, membina dan mendidik kami
dengan tekun, setia dan penuh cinta. Pokoknya para guru SD aku itu
paling amat baik dan cinta dengan para peserta didik sekalipun banyak
tantangan dan penderitaan. Apalagi saat itu, kami punya kecenderungan
bermain itu paling tinggi setinggi-tingginya dengan gunung siklop.
Waktu bermain bagi kami sungguh nampak banyak, tetapi para guru itu
biasa mengatur kami dengan baik pada saat aktivitas studi berlangsung
di sekolah. Jadi, kharakter dasarnya dari para guru itu memang
sekodrat dengan kodrat orang tuaku.
Kekuasaan cinta dan kebaikan mereka itu juga saya alami dengan
mengikuti pendidikan di SMP YPPK St.Fransiskus Asisi Moenami Kabupaten
Dogiyai. Saat itu, orang tua pernah mengantarku ke sekolah. Jarak
antara Moanemani dan di Kampung kelahiran aku itu memakan satu hari
penuh. Permukaan jalannya nampak jelek, penuh dengan pecek, mendaki
gunung Piyakebo, Hadubega dan Degeidimi serta Budaya Kotu. Sehingga
saat itu, badan agak sedikit terasa cape. Sekarang, sudah ada jalan
strans sehingga bisa tiba di Moanemani dalam 5 jam saja. Bila
dibandingkan dengan perjalan dulu, sekarang sudah semakin dekat
perjalanannya.
Ketika aku mendaftarkan diri sebagai calon siswa baru di SMP YPPK
Moanemani, aku berjumpa dengan teman-teman sesuku Mee. Kemudian, aku
diurus oleh kedua orang tuaku untuk harus tinggal di Asrama Putra
Moanemani. Di sanalah aku mengikuti pendidikan dengan berpola asrama.
Biasanya, saya bisa belajar hidup budaya dengan teman-teman sesuku
Mee, bersosialisasi dan ber-akulturasi dengan teman-teman pendatang
atau para guru-guru pendatang dari luar, yang berbeda agama, budaya
dan bahasa. Tapi tidak ada bedanya bagi saya, sekalipun memang ada
kelemahan dan kelebihan dalam setiap budaya tersebut. Aku dan kami
biasa saling menghargai selama hidup di sana.
Secara mendalam, nilai-nilai moral, iman dan budaya serta nilai-nilai
pendidikan seperti cinta kasih, keadilan kejujuran dan kedamaian dan
kebebasan serta kesabaran, rendah hati, kerapian, persaudaraan dan
kebersamaan, kedisplinan dan solidaritas dan kesetiaan terus menerus
dibentuk, dijiwai dan ditanamkan ke dalam diri setiap kami oleh Bruden
Yan OFM. Di sekolah juga demikian halnya. Bahwa para guru SMP tidak
hanya mengajarkan tentang bebagai mata pelajaran seperti Matematikan,
IPA dan IPS serta PPKN tetapi juga mendidikan, dan membina kami dengan
nilai-nilai gama, moral dan Injili. Hal-hal ini terus berlanjut hingga
aku selesai SMP pada tahun 2012.
Setelah itu, badan aku sudah mulai berusia colon remaja. Masa
kenakalan kini mulai semakin medekat. Aku semakin dituntut untuk hidup
menurut nasehat Injil, Budaya dan Moral yang ada. Dengan berpedoman
pada nilai-nila dasar ini, aku pun sudah dapat memutuskan diri untuk
melanjutkan pendidikan di Kota Jayapura. Orang tua aku pun tetap ikut
merestuinya. Uang untuk biaya pendidikan, tas dan pakaian sudah
disiapkan dari jauh sebelumnya sehingga sudah semakin memudahkan aku
untuk melanjutkan studiku ini. Hanya ada satu hal yang terus terpatri
dalam kesadaranku, “memang mereka itu amat lebih baik sekali bagiku”.
Akhirnya aku pun segera bergegas meninggalkan orang tua tercinta dan
berhasil turun ke Nabire menuju ke Jayapura.
Dengan kaget-kaget aku naik Ekstrada dari Terminal Moanemani Ke
Nabire. Hanya satu malam saja dalam perjalan menuju ke Nabire. Dua
hari tinggal di Nabire. Kemudian, pada hari yang ketiga, aku berangkat
ke Jayapura yang tercinta ini melalui pesat boing. Dalam pesawat aku
pernah muntah-muntah, kapala pun semakin pening campur kagung ketika
melihat panorama, keindahan dan pesona alam Papua dari pesawat di
udara. Setelah tiba di bandara Sentani, aku tidak dijemput oleh
siap-siapa. Dari sini aku mengikuti jalan sentani Jayapura dengan
menggunakan strawagon. Aku pernah membayar Rp 6000. Lalu, sampai di
Topas tepat di lampu merah, aku menghadap menuju ke SMA YPPK Teruna
Bahkti hanya untuk belajar. Untuk belajar apa saja, itu sudah
pendidikan bagiku dalam terang Sang Pengada.
Entah belajar di Kampung, di hutan atau pun belajar di kota ini, aku
siap selalu untuk mengikuti pendidikan dengan rela, berani dan segera
menerima segala kosekuwensinya. Kini aku sudah baru berada kelas dua
SMA YPPK Teruna Bakhti. Setiap hari, aku belajar secara wajar sesuai
program sekolah bersama teman-teman. Juga aku bisa berteman dengan
siapa saja sehingga banyak hal yang tidak tahu sebelumnya, kini telah
menjadi tahu secara baik. Aku sadar bahwa sekalipun orang tua masih
jauh di balik gunung, kasih dan kebaikannya yang begitu besar itu,
kini aku masih tetap mengalaminya secara terus menerus melalui para
guru, masyarakat dan Gereja yang berada di tempat ini. Oleh karena
itu, aku, teman dan para guru dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk
menatap ke belakang, berbakti pada masa kini dan dunia di sini, dan
menatap masa depan yang cemerlang demi menjadi pribadi yang berguna
bagi Papua, bangsa dan Gereja Universal. Itu sudah arti dan makna
pendidikan bagi kita semua.
Penulis adalah Melianus Boma pada SMA YPPK Teruna Bakhti Waena-Jayapura
↧